Sebagai upaya menciptakan lingkungan aman bagi anak, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kabupaten Gunungkidul menggelar Sosialisasi Pencegahan Kekerasan di Lingkungan Rumah Ibadah Ramah Anak pada Jumat (29/8/2025). Kegiatan ini berlangsung di Gereja Santo Petrus dan Paulus, Kalurahan Kelor, Kapanewon Karangmojo, dihadiri sekitar 25 peserta dari komunitas paroki.
Acara dibuka dengan doa bersama dan sambutan dari Dra. HEPPY ETHIWI, MAP Plt Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang menekankan pentingnya peran orang tua dalam pengawasan anak, terutama di era digital. “Paparan gadget membuat anak semakin penasaran. Pengawasan dan pondasi agama yang kuat sangat penting untuk tumbuh kembang mereka. Gereja juga perlu memberikan ruang agar anak dapat berpartisipasi aktif,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa Forum Anak Gunungkidul dapat dilibatkan dalam kegiatan yang mendukung perkembangan anak.
Romo Paroki Santo Petrus dan Paulus turut memberikan apresiasi atas kegiatan ini. Ia menyatakan bahwa sosialisasi ini sejalan dengan tema paroki yang berkomitmen menciptakan suasana kondusif bagi anak di setiap aktivitas gereja.
Materi utama disampaikan oleh Prasenna Nawasanti Abisatya. Dalam paparannya, ia menjelaskan bahwa gereja ramah anak adalah ruang publik yang aman, positif, dan inklusif. “Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak tahun 1990. Rumah ibadah harus menjadi tempat yang melindungi anak, menjamin keamanan fisik dan emosional, serta memberi ruang partisipasi bagi mereka,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa kekerasan dapat terjadi di mana saja, termasuk rumah ibadah, sehingga perlu SOP penanganan kasus kekerasan anak. Selain itu, para pelayan gereja harus dilatih mengenai Konvensi Hak Anak (KHA) dan pencegahan kekerasan. Hukuman keras dinilai tidak efektif, sehingga harus diganti dengan pendekatan disiplin positif.
Prasenna juga menyoroti tantangan seperti keterbatasan tenaga pengajar, sarana prasarana, dan pemahaman masyarakat. Solusinya adalah penguatan kapasitas, pelatihan KHA, kerjasama lintas sektor, serta penggalangan dukungan sumber daya.
Dalam sesi tanya jawab, peserta menanyakan apakah sosialisasi ini juga dilakukan di rumah ibadah lain. Narasumber menjelaskan bahwa kegiatan serupa sudah dilakukan di masjid, pesantren, dan wihara. Kekerasan, menurutnya, tidak selalu berbentuk fisik, tetapi juga bisa berupa pengucilan dan olok-olok, sehingga pola asuh disiplin positif menjadi kunci.
Pertanyaan lain terkait kekerasan dalam struktur hierarki gereja dan tantangan sains terhadap nilai iman juga muncul. Narasumber menegaskan pentingnya pengalaman hidup dan pembinaan iman sejak dini agar anak memiliki karakter kuat tanpa paksaan.
Dengan sosialisasi ini, diharapkan semua rumah ibadah di Kabupaten Gunungkidul dapat menjadi tempat ibadah yang aman, mendidik, dan ramah anak.