Pemerintah Kabupaten Gunungkidul melalui Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) menggelar Rapat Koordinasi Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) pada Senin, 25 Agustus 2025. Acara ini berlangsung di Ruang Rapat Welas Asih Dinsos P3A dan dihadiri oleh perwakilan berbagai OPD, akademisi, serta pegiat gender.
Rapat ini membahas Rencana Aksi Daerah (RAD) Pengarusutamaan Gender 2025–2026 yang telah ditetapkan melalui Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 5 Tahun 2025. Dokumen ini menjadi pedoman bagi seluruh OPD untuk menerapkan analisis gender dalam perencanaan dan penganggaran, sehingga kebijakan pemerintah lebih inklusif dan berpihak pada kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Dalam sambutannya, Heppy Ethiwi Plt Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyampaikan bahwa capaian Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Kabupaten Gunungkidul saat ini berada pada level pratama, padahal sebelumnya pernah mencapai level utama. “Tahun ini APE menargetkan tujuh sasaran utama, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, pelaporan, hingga pengawasan oleh Inspektorat Daerah,” ujarnya.
Heppy Ethiwi menambahkan, Dinsos P3A telah menginisiasi beberapa program strategis seperti Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, layanan Mobil Patah Hati, UPT PPA, PUSPAGA, dan LK3 untuk pencegahan serta penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Paparan materi pertama disampaikan oleh Galih Widya Setyanti, yang menjelaskan substansi Perbup Nomor 5 Tahun 2025. Menurutnya, peraturan ini telah mendapat fasilitasi Kemenkumham dan mengatur mekanisme pelaksanaan RAD PUG. “Kami berharap semua OPD aktif melakukan monitoring. Hampir semua OPD sudah masuk dalam matriks RAD, kecuali Dinas Kebudayaan,” katanya.
Sementara itu, Rovifah Widyastuti menekankan pentingnya pemahaman gender sebagai relasi sosial yang dibentuk oleh budaya. Ia mengingatkan bahwa ketimpangan tidak hanya dialami perempuan, tetapi juga laki-laki. “Banyak laki-laki dipaksa menahan emosi, bahkan melampiaskannya dengan kekerasan. Begitu juga perempuan yang jarang diberi kesempatan menduduki posisi strategis,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kesenjangan yang terlihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, ketimpangan ini harus diatasi melalui kebijakan responsif gender dan penguatan focal point di setiap OPD.
Dalam sesi diskusi, peserta mengungkapkan tantangan penyusunan data pilah, terutama di OPD teknis seperti kesehatan veteriner yang datanya tidak berhubungan langsung dengan gender. Menjawab hal ini, narasumber menegaskan bahwa data pilah tidak harus seimbang, tetapi harus mampu menunjukkan komposisi laki-laki dan perempuan sebagai dasar analisis. Isu inklusivitas juga menjadi sorotan. Gender tidak hanya terkait laki-laki dan perempuan, tetapi juga mencakup kelompok rentan lain seperti penyandang disabilitas.
Sesi sharing mengungkap fakta menarik tentang ketimpangan gender di Gunungkidul yang cukup besar dibandingkan daerah lain di DIY. Tidak hanya perempuan, laki-laki pun menjadi korban ketimpangan. Masalah kesehatan mental, kurangnya ruang berekspresi, hingga kasus bunuh diri menjadi isu yang harus diperhatikan.
“Pekerjaan domestik yang dilakukan perempuan juga penting dan perlu dihargai. Anak laki-laki dan perempuan harus mendapat edukasi yang setara agar kesenjangan ini tidak berlanjut,” ujar salah satu narasumber.
Rapat ini menghasilkan beberapa rekomendasi, di antaranya penguatan peran focal point di OPD, penyediaan data pilah yang lebih baik, serta implementasi Perbup Nomor 5 Tahun 2025 melalui monitoring bersama.
Dengan rapat ini, Pemkab Gunungkidul berharap Pengarusutamaan Gender tidak hanya menjadi dokumen formalitas, tetapi benar-benar terintegrasi dalam kebijakan publik, sehingga menciptakan pembangunan yang inklusif dan adil bagi semua, baik laki-laki, perempuan, anak, maupun penyandang disabilitas.