Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan pelatihan Pencatatan dan Pelaporan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KTPA) melalui Aplikasi Simfoni PPA. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Rabu dan Kamis, tanggal 11–12 Juni 2025, bertempat di Eastparc Hotel Yogyakarta. Sebanyak 50 peserta dari OPD dan lembaga pencatatan kasus kekerasan perempuan dan anak turut hadir dalam kegiatan ini, termasuk Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kabupaten Gunungkidul.
Kegiatan dibuka oleh Ibu Erlina Hidayati Sumardi, S.IP., M.M. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan keprihatinan atas masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY. Ia menyebutkan bahwa pada tahun 2024 tercatat sebanyak 1.326 korban kekerasan, dan angka ini hanya mencerminkan kasus-kasus yang terlaporkan. “Banyak yang belum melapor karena masih takut atau belum tahu ke mana harus mengadu. Bahkan banyak LSM yang menangani secara mandiri namun belum masuk dalam data resmi,” ungkapnya.
Beliau menekankan pentingnya pencatatan yang lengkap dan akurat agar data tersebut bisa dianalisis, menjadi dasar penyusunan program, serta disampaikan kepada pemangku kebijakan. Harapannya, program dan layanan yang dijalankan bisa lebih tepat sasaran hingga tingkat kalurahan. “Mari kita bersama-sama meningkatkan kesadaran dan kemampuan untuk menurunkan angka kekerasan. Semoga pelatihan ini memberikan manfaat dan penanganan kasus ke depan bisa lebih baik,” pungkasnya.
Dalam sesi paparan, Bu Harti yang telah berpengalaman sebagai Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus serta pernah menjabat sebagai Direktur Rifka Annisa (2012–2019), menekankan pentingnya empati dalam mendampingi korban. Ia menjelaskan bahwa pencatatan kasus bukan sekadar administratif, tetapi bagian dari proses memahami pengalaman korban yang panjang, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan. “Penanganan harus sensitif terhadap dinamika kasus, termasuk karakteristik korban yang berbeda-beda. Jangan sampai pencatat kasus kehilangan kepekaan,” ujarnya.
Paparan berikutnya disampaikan oleh Bu Devi Riana Sari yang menyoroti pentingnya pendampingan awal yang empatik dan cepat tanggap. Ia menegaskan bahwa korban kekerasan memiliki hak-hak yang harus dihormati, antara lain hak atas perlindungan, hak untuk didengar, hak atas proses hukum yang adil dan tidak diskriminatif, serta hak atas informasi dan pendampingan. Ia juga menyampaikan bahwa dalam praktiknya, korban sering merasa sistem hukum lebih memihak pelaku, dan banyak korban tidak dilibatkan dalam proses diskusi mengenai kasus mereka. “Pendamping harus mampu membangun komunikasi yang empatik dan memahami konteks kekerasan berbasis gender. Ini adalah tantangan besar di lapangan,” tegasnya.
Sementara itu, dr. Lipur Riantin dari RSUP Dr. Sardjito menyampaikan pentingnya keterlibatan sektor kesehatan dalam pencatatan dan pelaporan kasus KTPA. Ia menjelaskan dasar hukum pelaksanaan pelayanan terpadu berdasarkan Permenkes RI No. 1226 Tahun 2009, serta perlunya kolaborasi lintas sektor dalam penanganan kasus kekerasan. Menurutnya, pelayanan kesehatan harus mencakup aspek promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif. Ia menambahkan bahwa saat ini rujukan medis, termasuk pemeriksaan forensik, menjadi bagian penting dalam proses perlindungan dan keadilan bagi korban.