Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggelar rapat koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk membahas isu perlindungan anak dari kekerasan dan pemenuhan hak anak dengan disabilitas. Rapat tersebut dipimpin oleh Komisioner KPAI, Dr. Dyah Puspitarini, S.Pd., M.Pd., dan dihadiri oleh Bupati Gunungkidul H. Sunaryanta serta sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait. Pertemuan berlangsung di Ruang Rapat Bhumikarta, Sekretariat Daerah Gunungkidul.
Bupati Sunaryanta dalam kesempatan tersebut menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moral bagi anak-anak sebagai landasan utama dalam kehidupan sehari-hari. “Anak-anak kita harus dibekali dengan pendidikan karakter yang kuat agar mampu menghadapi tantangan masa depan,” ujar Sunaryanta.
Selama rapat, KPAI menyoroti kekurangan jumlah tenaga psikolog dan tenaga kesehatan mental di Kabupaten Gunungkidul. “Minimnya tenaga profesional ini menghambat proses trauma healing bagi anak-anak korban kekerasan,” kata Dr. Dyah Puspitarini. Ia menambahkan, kekerasan terhadap anak dapat berdampak panjang pada kesehatan dan kesejahteraan mereka seumur hidup, sehingga penanganan yang tepat dan cepat sangat dibutuhkan.
Data global menunjukkan bahwa hingga 1 miliar anak di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik, seksual, atau emosional setiap tahun. Target Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 yang disepakati oleh negara-negara di dunia adalah mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap anak. “Kekerasan terhadap anak bisa dicegah dengan sinergi lintas sektor dan penanganan yang komprehensif,” tegasnya.
KPAI juga mengajak semua pihak untuk bersama-sama menangani kasus kekerasan terhadap anak. “Ini bukan hanya tugas Dinas Sosial atau kepolisian, tetapi melibatkan berbagai OPD, termasuk Kementerian Agama jika kasus terjadi di lingkungan pesantren,” jelas Dyah.
Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Gunungkidul, Ir. Asti Wijayanti, MA, mengonfirmasi bahwa jumlah tenaga psikolog di Gunungkidul masih sangat terbatas. “Saat ini, kami hanya memiliki satu psikolog di UPTD, dan di RSUD Wonosari juga ada satu. Namun, jumlah tersebut jauh dari cukup,” katanya. Dari 30 Puskesmas di Gunungkidul, hanya beberapa yang memiliki tenaga kesehatan mental.
Upaya untuk menambah tenaga kesehatan mental telah dilakukan melalui pelatihan dasar penanganan psikologis bagi tenaga Puskesmas. Namun, hasilnya belum maksimal. “Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan penanganan psikologis sederhana, tapi masih perlu ditingkatkan lagi,” tambah Asti.
Sepanjang tahun 2024, terdapat 88 kasus kekerasan anak di Gunungkidul, dengan rincian 11 kasus kekerasan fisik, 30 kasus kekerasan psikis, 26 kasus kekerasan seksual, dan 8 kasus penelantaran. “Ini belum termasuk kasus pidana anak yang juga memerlukan konseling psikologis,” tutupnya.
Diharapkan, dengan koordinasi yang intensif dan peningkatan jumlah tenaga kesehatan mental, penanganan kasus kekerasan terhadap anak di Gunungkidul dapat lebih cepat dan efektif.
Link konten di instagram : Lihat